PENEGAKAN (PENYELESAIAN) SENGKETA
HUKUM LINGKUNGAN
Penyelesaian Sengketa di Pengadilan
digolongkan kepada:
a.
Sengketa Hukum Administratif
b.
Sengketa Hukum Pidana
c.
Sengketa Hukum Perdata
d.
Sengketa Hukum Internasional
A.
Class Action
Istilah Class
Action (CA) atau disebut pula dengan actio popularis diartikan dalam bahasa
Indonesia secara beragan di sebut dengan gugatan perwakilan, gugatan kelompok
atau ada juga yang menyebutkan gugatan berwakil.
B.
Peraturan Mahkamah Agung/PERMA No
1 tahun 2002
Memuat
beberapa prinsip yaitu:
1.
Persyaratan jumlah anggota
kelompok (prinsip numerosity)
Perma ini
tidak menetapkan kriteria tentang berapa jumlah paling sedikit supaya disebut
gugatan class action.
2.
Prinsip kesamaan fakta, Hukum dan
Tipikalis
Prinsip ini
merupakan karakter khusus dari class action yang di sebut commonality. Harus
adanya kesamaan masalah, dasar hukum, kesamaan tuntutan dari para korban dan
pembelaan yang dilakukan oleh tergugat.
3.
Prinsip Kelayakan Mewakili
(Adequancy of Representation)
Perma
menentukan bahwa wakil kelompok haruslah memiliki sifat: kejujuran,
kesungguhan, kemampuan, pendidikan dan status sebagai wakil kelompok
4.
Formal Gugatan
Adanya fakta
yang mendasari gugatan(posita) dan inventarisasi tuntutan (petitum)
5.
Posita Gugatan
Mekanisme
beracara biasanya di haruskan supaya berisikan data atau identifikasi
fakta-fakta atau peristiwa yang jelas.
6.
Identitas Penggugat
Identitas
diharuskan bagi wakil kelompok secara lengkap dan jelas
7.
Surat Kuasa
Dalam perma
ini tidak diisyaratkan surat kuasa khusus
8.
Penetapan tentang sah atau tidak
Gugatan Perwakilan
Pada awal
pemeriksaan di persidangan pengadilan secara wajib memeriksa mengenai kriteria
gugatan perwakilan
9.
Prinsip Pemberitahuan kepada
Anggota Kelompok
Apabila hakim
telah menyatakan sah mengenai gugatan perwakilan, maka setelah itu hakim segera
memerintahkan penggugat untuk mengajuan usulan model pembritahuan kepada kelompoknya.
Dengan cara:
langsung, media cetak, media elektronik, pengumuman di kantor pemerintah.
10. Pernyataan
opt out dan opt in
Opt out yaitu
yang menyatakan dirinya secara tegas keluar dari keanggotaan kelompok.
Opt in yaitu
yang menyatakan dirinya secara tegas masuk dari keanggotaan kelompok.
11. Konsekuensi
Putusan terhadap Pernyataan keluar
Konsekuensi
putusan class action tidak mengikat para anggota yang keluar (pasal 8 ayat 2).
Artinya yang mengajukan pernyataan keluar lepas dari tanggung awab gugatan
secara penuh.
12. Putusan
Hakim
Dalam pasal 19
putusan hakim mengabulkan gugatan secara class action berisi: jumlah ganti rugi
secara rinci, penentuan kelompok atau sub kelompok yang berhak, mekanisme
pendistribusian ganti rugi, langkah langkah yang wajib di tempuh oleh wakil
kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian.
C.
Legal Standing
Istilah legal
standing disebut juga dengan standing, ius standi, persona standi. Bila di
Indonesiakan menjadi hak gugat atau adapula yang menyebutnya dengan kedudukan
gugat, sementara UUPLH 1997 dalam pasal di atas menyebutnya dengan “hak
mengajukan Gugatan”
D.
Citizien Standing/Citizien Law
Suit
Citizien
Standing/Citizien Law Suit adalah hak gugat yang menyangkut masyarakat, LSM,
Warga Negara, atau orang perorangan.
A. PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN ADMINISTRASI
TATA RUANG, ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN (AMDAL), PERIZINAN, SANKSI.
1.
TATA RUANG
Dalam
mengelola lingkungan, perlu adanya sistem keterpaduan, yang meliputi kebijakan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan
pengendaliannya.
Dasar
hukum penataan ruang di Indonesia di mulai dari landasan konstitusi pasal 33
ayat (3) uud 1945 yang mengatur kekuasaan negara atas semua sumber daya alam
yang dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyat.
Kemudian
UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa
pengelolaan lingkungan berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan, yang serasi
dan seimbang, untuk menunjang pembangunan berkelanjutan. Pasal 9 UUPLH 1997
menetapkan bahwa salah satu pokok kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan
lingkungan adalah aspek “Tata Ruang”.
2.
ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN (AMDAL)
AMDAL
dipergunakan dengan beberapa istilah asing, yakni Environmental Impact
Analysis, Environmental Impact Assesment, atau Environmental Assesment dan
Statement. Prof Otto Soemarto menggunakan istilah tersebut dengan “Analisis
Dampak Lingkungan” dan berkenaan dengan itu tetapi dalam tekanan lain dengan “
Analisis Manfaat dan Resiko Lingkungan” (AMRIL). Prof.St. Munadjat Danusaputro
mengistilahkannya dengan “Pernyataan Dampak Lingkugan” sebagai terjemahan dari
Environmental Impact Statement.
Jenis
jenis AMDAL:
a.
AMDAL secara tunggal
AMDAL ini
dilakukan terhadap satu jenis usaha atau kegiatan. Karena kegiatannya bersifat
tunggal, maka kewenangan pembinaanya berada di bawah satu instansi yang
membidangi usaha atau kegiatan tersebut.
b.
AMDAL sektor
AMDAL ini dapat
juga disebut dengan AMDAL sektoral, karena kebijakan tentang penetapan
kewajiban amdalnya ditetapkan oleh Mentri sektoral. Pasal 3 ayat (2) PP Amdal
1999 mengatakan bahwa jenis usaha atau kegiatan yang wajib memiliki amdal
ditetapkan Mentri setelah mendengar dan memperhatikan saran dan pendapat Mentri
lain atau pimpinan LPMD terkait. Dengan demikian, mengenai kewajiban Amdal atas
suatu kegiatan, sifatnya sektoral.
c.
AMDAL Terpadu atau Amdal
Multisektor
Bedasarkan
pasal 2 ayat (3) PP No 27 tahun 1999 (PP Amdal 99), Mentri /Negara Lingkungan
Hidup telah mengeluarkan peraturan KEPMEN LH No.Kep-57/MENLH/12/1995 tentang
Amdal Usaha atau Kegiatan Terpadu/ Multisektor.
Kriteria
terpadu demikian meliputi:
a.
Proses perencanaan , pengelolaan
dan proses produksinya.
b.
Jenis jenis usaha atau kegiatan
yang Amdalnya menjadi kewenangan berbagai instansi teknis yang membidanginya.
c.
Kegiatan tersebut berada dalam
kesatuan hamparan ekosistem.
d.
Kegiatan tersebut berada di bawah
satu pengelola atau lebih.
d.
AMDAL Regional atau Amdal Kawasan
Amdal ini
adalah berupa hasil kajian mengenai dampak besar dan penting kegiatan terhadap
lingkugan dalam satu kesatuan hamparan ekosistem zona pengembangan wilayah atau
kawasan sesuai rencana tata ruang wilayah atau kawasan.
Kriterianya
meliputi:
a.
Berbagai kegiatan yang saling
terkait antar satu dengan yang lainnya.
b.
Setiap kegiatan menjadi
kewenangan lebih dari satu instansi yang bertanggung jawab.
c.
Kegiatan tersebut dimiliki oleh
lebih dari satu badan usaha(pemrakarsa).
d.
Kegiatan terletak dalam satu zona
rencana pengembangan wilayah sesuai RUTR daerah.
e.
Kegiatan tersebut dapat terletak
dalam lebih dari satu kesatuan hamparan ekosistem.
3.
PENGELOLAAN PERIZINAN LINGKUNGAN
Perizinan
di istilahkan dengan license/permit (inggris), vergunning (Belanda).
Izin
merupakan alat pemerintah yang bersifat yuridis preventif, dan digunakan
sebagai instrumen hukum administrasi untuk mengendalikan prilaku masyarakat.
Selain itu fungsi izin adalah represif sebagai instrumen untuk menanggulangi
masalah lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Di
Indonesia, perizinan lingkungan di berikan oleh instansi-instansi yang terkait
dengan pengelolaan lingkungan, yang di sebut izin sektoral.
·
Sumber/Dasar hukum Perizinan
Lingkungan:
a.
Hinder Orodinantie (S.1926)
b.
UUPLH 1997
c.
PP No.20 Tahu 1990 tentang
Pengendalian Pencemaran Air
d.
PP No.19 Tahun 1994 jo PP No.12
tahun 1975 tentang pengelolaan limbah B3
·
Faktor syarat Perizinan
a.
Faktor Rencana tata ruang
b.
Faktor pendapat masyarakat
c.
Faktor pertimbangan dan
rekomendasi pejabat yang berwenang (UUPLH 1997 Pasal 9 ayat 1).
4.
PENEGAKAN SANKSI ADMINISTRASI
Sanksi
merupakan tindakan hukum(legal action) yang di ambil pejabat tata usaha negara
yang bertanggung jawab atas pengelolaan lingkungan hidup atas pelanggaran
persyaratan lingkungan.
UUPLH
memungkinkan Gubernur atau Bupati dan atau Walikota melakukan paksaan
pemerintah. Misalnya, Pasal 25 UU No. 23 Tahun 1997 memungkinkan Gubernur untuk
mengeluarkan paksaan pemerintah untuk mengeluarkan paksaan pemerintah untuk
mencegah dan mengakhiri pelanggaran, untuk menanggulangi akibat dan untuk
melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan pemulihan
B. PENEGAKAN HUKUM LINGKUGAN PERDATA
Penyelesaian
sengketa terbagi menjadi dua yaitu di dalam pengadilan dan du luar pengadilan.
A. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini
bisa dilakukan oleh hanya kedua belah pihak atau dengan menggunakan pihak
ketiga.
Tujuan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan adalah untuk mencari kesepakatan tentang bentuk dan besarnya ganti
rugi atau menentukan tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pencemar untuk
menjamin bahwa perbuatan ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
B. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan ini
adalah suatu proses beracara biasa. Penyelesaian melalui pengadilan ini dapat
di tempuh jikapenyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak mencapai
kesepakatan.
Korban pencemaran lingkungan dapat secara
sendiri-sendiri atau di wakili oleh orang lain menggugat pencemaran untuk
meminta ganti rugi atau untuk meminta
pencemar melakukan tindakan tertentu.
a. Hak Gugat (legal standing) secara umum
Artinya secara keperdataan seseorang hanya memiliki hak
untuk menggugat apabila ia memiliki kepentingan yang dirugikan oleh orang lain.
Hali ini dapak kita lihat dalam pasal 34 UUPLH.
b. Hak gugat (legal standing) LSM
Menurut UUPLH pasal 37, LSM memiliki locus standi atau
legal standing untuk mengajukan gugatan atas nama masyarakat.
c. Gugatan ganti rugi acara biasa
Bedasarkan UUPLH, korban pencemaran lingkungan dapat
meminta civil remedy berupa ganti rugi(compensation). Ada dua macam tanggung
jawab perdata (civil liability) yang di atur dalam UUPLH, yaitu tanggung jawab
bedasarkan kesalahan (liabilty based on fauly) UUPLH Pasal 34 jo Pasal 1365 KUH
Perdata dan tanggung jawab seketika (strict liabilty) UUPLH Pasal 35 ayat 1.
d. Gugatan Perwakilan Kelas (class action)
Bedasarkan UUPLH Pasal 37 memberi kemungkinan pada
masyarakat untuk mengajukan gugatan perwakilan (class action) dalam kejadian
atau pencemaran lingkungan hidup. Menurut pasal ini, masyarakat banyak sebagai
sebagai anggota kelas (class members) dapat diwakili oleh sekelompok kecil
orang yang disebut perwakilan kelas (class representative).
C.PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN PIDANA
A. Pendahuluan
Penegakan hukum pidana ini dapat menimbulkan
faktor penjera (detterant factor) yang sangat efektif. Penegakan hukum pidana
merupakan ultimum remendium atau upaya hukum terakhir karena tujuannya adalah
untuk menghukum pelaku dengan degan hukuman penjara atau denda.
B. Delik Lingkungan dan Ancaman Hukuman
UUPLH mengatur hal-hal yang tidak di atur
dalam UU No.4 tahun 1982, seperti tanggung jawab perusahaan, delik formil, dan
hukuman tata tertib.
Ada dua macam tindak pidana yang diperkenalkan dalam
UUPLH yaitu delik materiil, dan delik formil. Delik materiil adalah perbuatan
melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.
Delik formil adalah perbuatan melanggar aturan-aturan hukum administrasi.
C. Tindakan Tata Tertib
Tindakan tata tertib merupakan hukuman tambahan selain
denda yang dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dati
tindak pidana
b. Peutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan
c. Perbaikan akibat tindak pidana
d. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan
tanpa hak
e. Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak
f. Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan
paling lama tiga (3) tahun
D. Kejahatan Korporasi (Corporate Crime)
Dalam perkembangan pertanggungjawaban Pidana
di Indonesia, yang dipertanggung jawabkan tidak hanya manusia tetapi juga
korporasi. Perumusan yang di tempuh oleh pembuat Undang-undang adalah sebagai
berikut:
a. Yang dapat melakukan tindak pidana yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah orang.
b. Yang dapat melakukan tindak pidana adalah
orang dan atau korporasi, tetapi yang dipertanggungjawabkan hanyalah orang.
Dalam hal korporasi melakukan tindak pidana, maka yang dipertanggungjawabkan
adalah pengurus korporasi.
c. Yang dapat melakukan tindak pidana dan yang
dapat dipertanggungjawabkan adalah orang dan atau korporasi. Rumusan ini
terdapat dalam UU Tindak Pidana Ekonomi, Narkotika, dan UUPLH.
Menurut Mardjono Reksodiputro ada tiga sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subjek tindak pidana yakni:
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah
yang bertanggung jawab
b. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah
yang bertanggung jawab
c. Korporasi sebagai pembuat dan yang
bertanggung jawab
E. Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan
Konsepsi pertanggungjawaban pidana, dalam arti pembuat
ada beberapa syarat yang harus di penuhi yaitu; 1)adanya perbuatan pidana,
2)ada pembuat yang mampu bertanggung jawab, 3) ada unsur kesalahan yang berupa
kesengajaan atau kealpaan, 4)tidak ada alasan pemaaf
a. Elemen Perbuatan Pidana
Maksudnya adalah semua perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang dan perbuatan pidana tersebut merupakan perbuatan jahat, yang
apabila di langgar akan mendapatkan ganjaran berupa sanksi pidana sebagaimana
di atur dalam hukum pidan materiil.
Terdapat 5 unsur
a) Kelakuan dan akibat
b) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai
perbuatan
c) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d) Unsur yang melawan hukum objektif
e) Unsur melawan hukum yang subjektif
b. Elemen Barangsiapa
Maksudnya adalah siapa saja sebagai subjek hukum, sebagai
pendukung hak dan kewajiban dan kepadanya tidak diberlakukan pengecualian hukum
seperti yang ditentukan oleh pasal 44, 48, 49, dan 50 KUHP.
c. Elemen Kesengajaan atau Kealpaan
Menurut teori Hukum pidana ada tiga bentuk kesengajaan
yaitu:
a) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als
oogmerk)
Merupakan suatu tindakan untuk melakukan atau untuk tidak
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, dimana perbuatan itu di
ingini atau diketahui oleh pelaku perbuatan
b) Kesengajaan sebagai keharusan (opset bij
noodzakelijk heids)
Merupakan suatu tindakan untuk melakukan/tidak melakukan
sesuatu perbuatan yang bertntangan dengan hukum, dimana pelakunya mengisyafi
bahwa akibat perbuatan tersebut merupakan suatu kepastian atau keharusan.
d.
Elemen tidak adanya unsur pemaaf
Berkaitan
dengan jika suatu keadaan dimana pelaku berada dalam suatu tekanan. Jika pelaku
berada dalam tekanan majikan maka dia sebagai operator dapat di bebaskan dari
tuntutan hukuman dan bahkan pertanggungjawaban pidananya dapat dikenakan
terhadap majikannya.
D.PENEGAKAN
HUKUM LINGKUNGAN DALAM LINGKUP INTERNASIONAL
Kesadaran manusia
akan pentingnya lingkungan mulai berkembang setelah disadari bahwa berbagai
kerusakan lingkungan dan sumber daya alam semakin meningkat dan justru
bersumber dari dampak perbuatan manusia. Perkembangan hukum
lingkunganinternasional itu sendiri diawali oleh kesadaran manusia terhadap
keadaan lingkungan.
Pada tanggal 5-6
Juli 1972, PBB melakukan konferensi di Stockholm untuk membicarakan isu-isu
penting mengenai lingkungan hidup, konferensi ini lazim disebut dengan United
Nations Conference on Human Environment (UNCHE). Konferensi Stockholm membahas
keprihatinan terhadap masalah-masalah lingkungan yang dirasakan semakin
problematis di berbagai belahan dunia. Di lain pihak, terdapat sejumlah manusia
di berbagai negara menderita kemiskinan dan keterbelakangan sehingga mempengaruhi
lingkungan hidupnya. Konferensi Stockholm berhasil menyepakati suatu perjanjian
yang tertuang dalam 26 prinsip pengelolaan lingkungan yang disebut sebagai
Deklarasi Stockholm dan dihasilkan pula 109 rekomendasi sebagai bagian dari
Action Plan. Selanjutnya pada tahun 1980, berdasarkan keputusan sidang umum PPB
pada Desember 1983 No. 38/161, dibentuk sebuah komisi dunia yang disebut World
Commission on Environment and Development (WCED) yang berkedudukan di Jenewa.
Tugas WCED ini pada dasarnya mengajukan strategi jangka panjang pengembangan
lingkungan di tahun 2000 dan sesudahnya, mengajukan pola-pola supaya masalah
lingkungan merupakan dasar kerjasama antar negara, dan mencari cara agar
masyarakat dunia bersifat responsif secara efektif atas pengembangan berkelanjutan.
Setelah Konferensi Stockholm 20 tahun selanjutnya, PBB menyelenggarakan kembali
KTT di Rio de Jeneiro pada tanggal 3-4 Juni 1992. Konferensi ini dinamakan
United Nations Conference on environment and Development (UNCED) yang biasa
dikenal sebagai Earth Summit atau KTT Rio. KTT Rio menjawab kembali persoalan
lingkungan, dimana setelah diselenggarakannya Konferensi Stockholm 1972
permasalah atas lingkungan semakin serius. Setelah KTT Rio, pada tanggal 1-5
September 2002 berlangsung sebuah KTT di Johannesburg yang membahas mengenai
pembangunan berkelanjutan atau World Summit on Sustainable Development (WSSD).
KTT Johannesburg menegaskan kembali tentang pembangunan berkelanjutan
sebagaimana yang telah dicetuskan pada KTT Rio 1992. KTT Johannesburg
mengeluarkan Deklarasi Johannesburg mengenai pembangunan berkelanjutan antara
lain berupa, tantangan yang dihadapi; komitmen terhadap pembanguunan
berkelanjutan; pentinganya peranan lembaga-lembaga internasional dan
multilateral yang efektif, demokratis, dan akuntabel; dan komitmen mewujudkan
bersama pembangunan berkelanjutan.
Indonesia
sebagai negara yang berdaulat telah menajdi anggota PBB dan sebagai anggota PBB
Indonesia mempunyai kewajiban untuk tunduk dan patuh kepada semua kesepakatan
internasional. Keterlibatan Indonesia dalam kancah internasional termasuk
didalamnya mengikuti Konferensi Stockholm 1972. Pengertian hukum lingkungan
Indonesia yang termuat dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 4 Tahun 1982 tentang
ketentuan pokok-pokok lingkungan hidup telah diperbarui dengan UU Nomor 23
Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Hingga ke UUPLH No 32 tahun
2009.
Manusia hidup di
dunia menentukan lingkungannya atau ditentukan oleh lingkungannya. Perubahan
lingkungan sangat ditentukan oleh sikap maupun perlindungan manusia pada
lingkungannya. Menurut Siti Sundari (2000) dalam Supriadi (2010) mengatakan
hukum lingkungan adalah hukum yang
mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan makhluk hidup lainnya yang
apabila dilanggar dapat dikenakan sanksi. Perkembangan hukum lingkungan itu
sendiri diawali oleh keasadaran setiap umat manusia bahwasannya masalah
lingkungan yang muncul sudah idak bisa lagi diselesaikan oleh satu negara saja.
Oleh karena itu, harus ada upaya global untuk mengatasi masalah lingkungan
global. Perkembangan hukum lingkungan internasional bermula PBB yang melakukan
Konferensi Stockholm 1972 untuk membicarakan isu-isu penting mengenai
lingkungan hidup. Rentetan konferensi tentang lingkungan internasional muncul
silih berganti seiring memperkuat pengaturan lingkungan global setelah
berlangsungnya Konferensi Stockholm 1972.