Materi Kuliah Hukum Lingkungan
BAB I PENGERTIAN HUKUM LINGKUNGAN
Hukum lingkungan dalam bahasa asing
adalah “Milieurecht” (Belanda), “environment Law”(Inggris), “Umwelrecht”
(Jerman).
Pada tanggal
11 maret 1982 telah diberlakukan undang undang nomor 4 tahun 1982 tentang
ketentuan ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, di singkat dengan UULH
dan disempurnakan dengan UUPLH, tanggal 19 September 1997.
Menurut
penjelasan UULH, istilah “lingkungan hidup” dan “lingkungan” dipakai dalam
pengertian yang sama. Lingkungan hidup bedasarkan pasal 1 angka 1 UULH-UUPLH
adalah: kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup,
termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.
Pengertian Lingkungan Hidup Menurut Para
Ahli:
1.
S.
J. McNaughton dan Larry L. Wolf
Lingkungan hidup adalah semua faktor
eksternal yang bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi
kehidupan, pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi organisme.
2.
Prof.
Dr. Ir. Otto Soemarwoto
Lingkungan hidup adalah jumlah semua
benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi
kehidupan kita.
3.
Prof.
Dr. St. Munadjat Danusaputro, SH
Lingkungan hidup adalah semua benda dan kondisi,
termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam
ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia
dalam jasad hidup lainnya.
BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
Hukum
lingkungan indonesia telah mulai berkembang semenjak zaman penjajahan
Pemerintahan Hindia Belanda, tetapi Hukum lingkungan pada masa itu bersifat
atau berorientasikan pemakaian. Hukum lingkungan Indonesia Kemudian berubah
sifatnya menjadi hukum yang berorientasikan tidak saja pada pemakaian, tetapi
juga pada perlindungan.
Perubahan ini
tidak terlepas dari pengaruh lahirnya hukum lingkungan internasional modern,
yang d tandai dengan lahirnya Deklarasi Stockhom 1972.
Lahirnya
Deklarasi Stockhom 1972 sangat mempengaruhi perkembangan hukum lingkungan
modern indonesia. Hal ini terbuki dengan dimasukkannya masalah pengelolaan
lingkungan hidup dalam GBHN 1973-1978 untuk pertama kalinya.
1.
Pengaturan Lingkungan pada masa
UUKPLH
UUKPLH
diundangkan pada tanggal 11 Maret 1982. Undang Undang ini merupakan ketentuan
payung (umbrella act) bagi perlindungan lingkungan. Konsekuensinya, UUKPLH
tidak memuat aturan-aturan detail tentang penanganan suatu persoalan hukum
lingkungan. UUKPLH hanya memuat aturan hukum tentang pengelolaan lingkungan
hidup.
2.
Dari Undang-Undang No.4 tahun
1982 ke Undang-Undang 23 Tahun 1997
Sebagai
tanda kepatuhan indonesia kepada norma hukum internasional, pemerintah
mengundangkan Undang-Undang No.4 tahu 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Hidup (UUKPPLH).
Dalam
kurun waktu 15 tahun masa berlakunya, UUKPPLH mengalami banyak kendala dalam
penegakan hukum. Diantara kendala tersebut adalah kendala regulatif,
institusional, dan politis.
Atas
beberapa kendala tersebut pemerintah mengundang-undang No.23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) untuk menggantikan UUKPLH. UUPLH berlaku
pada saat di undangkan 19 september 1997.
3.
Keharusan penyempurnaan UUPLH
Walaupun
umurnya masih lima belas tahun, UUPLH kelihatannya sudah harus diubah atau
disempurnakan. Sejalan dengan Undang-Undang No.22 tahun 1999 yang di ganti
dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan adanya
keinginan komunitas lingkungan hidup di DPR RI, pemerintah kususnya Mentri
Negara Lingkungan Hidup, perguruan tinggi dan LSM untuk mengundang-undangkan
tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (UUPSDA).
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM DALAM MENGELOLA LINGKUNGAN
1.
Hak Atas Lingkungan Hidup yang
Baik dan Sehat
Bedasarkan
Pasal 5 ayat (1) UULH-UULPH hak ini dimiliki setiap orang, yaitu orang seorang,
kelompok orang, atau badan hukum. Walaupun demikian, di samping mempunyai hak,
menurut pasal 5 ayat (2) UULH “setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan
hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya”.
Penuangan
hak perseorangan berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak
merupakan hak asasi pada tingkat Undang-Undang Dasar tetapi hanya hak biasa
pada Tingkat Undang-Undang.
2.
Hak Untuk Berperan Serta dalam
rangka Pengelolaan Lingkungan Hidup
Hak
ini terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) UULH, berdampingan dengan kewajiban setiap
orang untuk berperanserta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup, mencakup
tahap perencanaan maupun tahap tahap pelaksanaan dan penilaian. Hakekat sebenarnya
dari hak berperanserta adalah dalam prosedur pengambilan keputusan tata usaha
negara, khususnya tentang izin lingkungan.
BAB V PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
Penyelesaian Sengketa di Pengadilan
digolongkan kepada:
a.
Sengketa Hukum Administratif
b.
Sengketa Hukum Pidana
c.
Sengketa Hukum Perdata
d.
Sengketa Hukum Internasional
A.
Class Action
Istilah Class
Action (CA) atau disebut pula dengan actio popularis diartikan dalam bahasa
Indonesia secara beragan di sebut dengan gugatan perwakilan, gugatan kelompok
atau ada juga yang menyebutkan gugatan berwakil.
B.
Peraturan Mahkamah Agung/PERMA No
1 tahun 2002
Memuat
beberapa prinsip yaitu:
1.
Persyaratan jumlah anggota
kelompok (prinsip numerosity)
Perma ini
tidak menetapkan kriteria tentang berapa jumlah paling sedikit supaya disebut
gugatan class action.
2.
Prinsip kesamaan fakta, Hukum dan
Tipikalis
Prinsip ini
merupakan karakter khusus dari class action yang di sebut commonality. Harus
adanya kesamaan masalah, dasar hukum, kesamaan tuntutan dari para korban dan
pembelaan yang dilakukan oleh tergugat.
3.
Prinsip Kelayakan Mewakili
(Adequancy of Representation)
Perma
menentukan bahwa wakil kelompok haruslah memiliki sifat: kejujuran,
kesungguhan, kemampuan, pendidikan dan status sebagai wakil kelompok
4.
Formal Gugatan
Adanya fakta
yang mendasari gugatan(posita) dan inventarisasi tuntutan (petitum)
5.
Posita Gugatan
Mekanisme
beracara biasanya di haruskan supaya berisikan data atau identifikasi
fakta-fakta atau peristiwa yang jelas.
6.
Identitas Penggugat
Identitas
diharuskan bagi wakil kelompok secara lengkap dan jelas
7.
Surat Kuasa
Dalam perma
ini tidak diisyaratkan surat kuasa khusus
8.
Penetapan tentang sah atau tidak
Gugatan Perwakilan
Pada awal
pemeriksaan di persidangan pengadilan secara wajib memeriksa mengenai kriteria
gugatan perwakilan
9.
Prinsip Pemberitahuan kepada
Anggota Kelompok
Apabila hakim
telah menyatakan sah mengenai gugatan perwakilan, maka setelah itu hakim segera
memerintahkan penggugat untuk mengajuan usulan model pembritahuan kepada kelompoknya.
Dengan cara:
langsung, media cetak, media elektronik, pengumuman di kantor pemerintah.
10. Pernyataan
opt out dan opt in
Opt out yaitu
yang menyatakan dirinya secara tegas keluar dari keanggotaan kelompok.
Opt in yaitu
yang menyatakan dirinya secara tegas masuk dari keanggotaan kelompok.
11. Konsekuensi
Putusan terhadap Pernyataan keluar
Konsekuensi
putusan class action tidak mengikat para anggota yang keluar (pasal 8 ayat 2).
Artinya yang mengajukan pernyataan keluar lepas dari tanggung awab gugatan
secara penuh.
12. Putusan
Hakim
Dalam pasal 19
putusan hakim mengabulkan gugatan secara class action berisi: jumlah ganti rugi
secara rinci, penentuan kelompok atau sub kelompok yang berhak, mekanisme
pendistribusian ganti rugi, langkah langkah yang wajib di tempuh oleh wakil
kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian.
C.
Legal Standing
Istilah legal
standing disebut juga dengan standing, ius standi, persona standi. Bila di
Indonesiakan menjadi hak gugat atau adapula yang menyebutnya dengan kedudukan
gugat, sementara UUPLH 1997 dalam pasal di atas menyebutnya dengan “hak
mengajukan Gugatan”
D.
Citizien Standing/Citizien Law
Suit
Citizien
Standing/Citizien Law Suit adalah hak gugat yang menyangkut masyarakat, LSM,
Warga Negara, atau orang perorangan.
BAB VI PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN ADMINISTRASI
TATA RUANG, ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN (AMDAL), PERIZINAN, SANKSI.
1.
TATA RUANG
Dalam
mengelola lingkungan, perlu adanya sistem keterpaduan, yang meliputi kebijakan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendaliannya.
Dasar
hukum penataan ruang di Indonesia di mulai dari landasan konstitusi pasal 33
ayat (3) uud 1945 yang mengatur kekuasaan negara atas semua sumber daya alam
yang dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyat.
Kemudian
UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa
pengelolaan lingkungan berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan, yang serasi
dan seimbang, untuk menunjang pembangunan berkelanjutan. Pasal 9 UUPLH 1997
menetapkan bahwa salah satu pokok kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan
lingkungan adalah aspek “Tata Ruang”.
2.
ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN (AMDAL)
AMDAL
dipergunakan dengan beberapa istilah asing, yakni Environmental Impact
Analysis, Environmental Impact Assesment, atau Environmental Assesment dan
Statement. Prof Otto Soemarto menggunakan istilah tersebut dengan “Analisis
Dampak Lingkungan” dan berkenaan dengan itu tetapi dalam tekanan lain dengan “
Analisis Manfaat dan Resiko Lingkungan” (AMRIL). Prof.St. Munadjat Danusaputro
mengistilahkannya dengan “Pernyataan Dampak Lingkugan” sebagai terjemahan dari
Environmental Impact Statement.
Jenis
jenis AMDAL:
a.
AMDAL secara tunggal
AMDAL ini
dilakukan terhadap satu jenis usaha atau kegiatan. Karena kegiatannya bersifat
tunggal, maka kewenangan pembinaanya berada di bawah satu instansi yang
membidangi usaha atau kegiatan tersebut.
b.
AMDAL sektor
AMDAL ini
dapat juga disebut dengan AMDAL sektoral, karena kebijakan tentang penetapan
kewajiban amdalnya ditetapkan oleh Mentri sektoral. Pasal 3 ayat (2) PP Amdal
1999 mengatakan bahwa jenis usaha atau kegiatan yang wajib memiliki amdal
ditetapkan Mentri setelah mendengar dan memperhatikan saran dan pendapat Mentri
lain atau pimpinan LPMD terkait. Dengan demikian, mengenai kewajiban Amdal atas
suatu kegiatan, sifatnya sektoral.
c.
AMDAL Terpadu atau Amdal
Multisektor
Bedasarkan
pasal 2 ayat (3) PP No 27 tahun 1999 (PP Amdal 99), Mentri /Negara Lingkungan
Hidup telah mengeluarkan peraturan KEPMEN LH No.Kep-57/MENLH/12/1995 tentang
Amdal Usaha atau Kegiatan Terpadu/ Multisektor.
Kriteria
terpadu demikian meliputi:
a.
Proses perencanaan , pengelolaan
dan proses produksinya.
b.
Jenis jenis usaha atau kegiatan
yang Amdalnya menjadi kewenangan berbagai instansi teknis yang membidanginya.
c.
Kegiatan tersebut berada dalam
kesatuan hamparan ekosistem.
d.
Kegiatan tersebut berada di bawah
satu pengelola atau lebih.
d.
AMDAL Regional atau Amdal Kawasan
Amdal ini
adalah berupa hasil kajian mengenai dampak besar dan penting kegiatan terhadap
lingkugan dalam satu kesatuan hamparan ekosistem zona pengembangan wilayah atau
kawasan sesuai rencana tata ruang wilayah atau kawasan.
Kriterianya
meliputi:
a.
Berbagai kegiatan yang saling
terkait antar satu dengan yang lainnya.
b.
Setiap kegiatan menjadi
kewenangan lebih dari satu instansi yang bertanggung jawab.
c.
Kegiatan tersebut dimiliki oleh
lebih dari satu badan usaha(pemrakarsa).
d.
Kegiatan terletak dalam satu zona
rencana pengembangan wilayah sesuai RUTR daerah.
e.
Kegiatan tersebut dapat terletak
dalam lebih dari satu kesatuan hamparan ekosistem.
3.
PENGELOLAAN PERIZINAN LINGKUNGAN
Perizinan
di istilahkan dengan license/permit (inggris), vergunning (Belanda).
Izin
merupakan alat pemerintah yang bersifat yuridis preventif, dan digunakan
sebagai instrumen hukum administrasi untuk mengendalikan prilaku masyarakat.
Selain itu fungsi izin adalah represif sebagai instrumen untuk menanggulangi
masalah lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Di
Indonesia, perizinan lingkungan di berikan oleh instansi-instansi yang terkait
dengan pengelolaan lingkungan, yang di sebut izin sektoral.
·
Sumber/Dasar hukum Perizinan
Lingkungan:
a.
Hinder Orodinantie (S.1926)
b.
UUPLH 1997
c.
PP No.20 Tahu 1990 tentang
Pengendalian Pencemaran Air
d.
PP No.19 Tahun 1994 jo PP No.12
tahun 1975 tentang pengelolaan limbah B3
·
Faktor syarat Perizinan
a.
Faktor Rencana tata ruang
b.
Faktor pendapat masyarakat
c.
Faktor pertimbangan dan
rekomendasi pejabat yang berwenang (UUPLH 1997 Pasal 9 ayat 1).
4.
PENEGAKAN SANKSI ADMINISTRASI
Sanksi
merupakan tindakan hukum(legal action) yang di ambil pejabat tata usaha negara
yang bertanggung jawab atas pengelolaan lingkungan hidup atas pelanggaran
persyaratan lingkungan.
UUPLH
memungkinkan Gubernur atau Bupati dan atau Walikota melakukan paksaan
pemerintah. Misalnya, Pasal 25 UU No. 23 Tahun 1997 memungkinkan Gubernur untuk
mengeluarkan paksaan pemerintah untuk mengeluarkan paksaan pemerintah untuk
mencegah dan mengakhiri pelanggaran, untuk menanggulangi akibat dan untuk
melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan pemulihan
BAB VII PENEGAKAN HUKUM LINGKUGAN PERDATA
Penyelesaian
sengketa terbagi menjadi dua yaitu di dalam pengadilan dan du luar pengadilan.
A. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini
bisa dilakukan oleh hanya kedua belah pihak atau dengan menggunakan pihak
ketiga.
Tujuan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan adalah untuk mencari kesepakatan tentang bentuk dan besarnya ganti
rugi atau menentukan tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pencemar untuk
menjamin bahwa perbuatan ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
B. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan ini
adalah suatu proses beracara biasa. Penyelesaian melalui pengadilan ini dapat
di tempuh jikapenyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak mencapai
kesepakatan.
Korban pencemaran lingkungan dapat secara
sendiri-sendiri atau di wakili oleh orang lain menggugat pencemaran untuk
meminta ganti rugi atau untuk meminta
pencemar melakukan tindakan tertentu.
a. Hak Gugat (legal standing) secara umum
Artinya secara keperdataan seseorang hanya memiliki hak
untuk menggugat apabila ia memiliki kepentingan yang dirugikan oleh orang lain.
Hali ini dapak kita lihat dalam pasal 34 UUPLH.
b. Hak gugat (legal standing) LSM
Menurut UUPLH pasal 37, LSM memiliki locus standi atau
legal standing untuk mengajukan gugatan atas nama masyarakat.
c. Gugatan ganti rugi acara biasa
Bedasarkan UUPLH, korban pencemaran lingkungan dapat
meminta civil remedy berupa ganti rugi(compensation). Ada dua macam tanggung
jawab perdata (civil liability) yang di atur dalam UUPLH, yaitu tanggung jawab
bedasarkan kesalahan (liabilty based on fauly) UUPLH Pasal 34 jo Pasal 1365 KUH
Perdata dan tanggung jawab seketika (strict liabilty) UUPLH Pasal 35 ayat 1.
d. Gugatan Perwakilan Kelas (class action)
Bedasarkan UUPLH Pasal 37 memberi kemungkinan pada
masyarakat untuk mengajukan gugatan perwakilan (class action) dalam kejadian
atau pencemaran lingkungan hidup. Menurut pasal ini, masyarakat banyak sebagai
sebagai anggota kelas (class members) dapat diwakili oleh sekelompok kecil
orang yang disebut perwakilan kelas (class representative).
BAB VIII PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN PIDANA
A. Pendahuluan
Penegakan hukum pidana ini dapat menimbulkan
faktor penjera (detterant factor) yang sangat efektif. Penegakan hukum pidana
merupakan ultimum remendium atau upaya hukum terakhir karena tujuannya adalah
untuk menghukum pelaku dengan degan hukuman penjara atau denda.
B. Delik Lingkungan dan Ancaman Hukuman
UUPLH mengatur hal-hal yang tidak di atur
dalam UU No.4 tahun 1982, seperti tanggung jawab perusahaan, delik formil, dan hukuman
tata tertib.
Ada dua macam tindak pidana yang diperkenalkan dalam
UUPLH yaitu delik materiil, dan delik formil. Delik materiil adalah perbuatan
melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Delik
formil adalah perbuatan melanggar aturan-aturan hukum administrasi.
C. Tindakan Tata Tertib
Tindakan tata tertib merupakan hukuman tambahan selain
denda yang dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dati
tindak pidana
b. Peutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan
c. Perbaikan akibat tindak pidana
d. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan
tanpa hak
e. Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak
f. Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan
paling lama tiga (3) tahun
D. Kejahatan Korporasi (Corporate Crime)
Dalam perkembangan pertanggungjawaban Pidana
di Indonesia, yang dipertanggung jawabkan tidak hanya manusia tetapi juga
korporasi. Perumusan yang di tempuh oleh pembuat Undang-undang adalah sebagai
berikut:
a. Yang dapat melakukan tindak pidana yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah orang.
b. Yang dapat melakukan tindak pidana adalah
orang dan atau korporasi, tetapi yang dipertanggungjawabkan hanyalah orang. Dalam
hal korporasi melakukan tindak pidana, maka yang dipertanggungjawabkan adalah
pengurus korporasi.
c. Yang dapat melakukan tindak pidana dan yang
dapat dipertanggungjawabkan adalah orang dan atau korporasi. Rumusan ini
terdapat dalam UU Tindak Pidana Ekonomi, Narkotika, dan UUPLH.
Menurut Mardjono Reksodiputro ada tiga sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subjek tindak pidana yakni:
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka
penguruslah yang bertanggung jawab
b. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah
yang bertanggung jawab
c. Korporasi sebagai pembuat dan yang
bertanggung jawab
E. Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan
Konsepsi pertanggungjawaban pidana, dalam arti pembuat
ada beberapa syarat yang harus di penuhi yaitu; 1)adanya perbuatan pidana,
2)ada pembuat yang mampu bertanggung jawab, 3) ada unsur kesalahan yang berupa
kesengajaan atau kealpaan, 4)tidak ada alasan pemaaf
a. Elemen Perbuatan Pidana
Maksudnya adalah semua perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang dan perbuatan pidana tersebut merupakan perbuatan jahat, yang
apabila di langgar akan mendapatkan ganjaran berupa sanksi pidana sebagaimana
di atur dalam hukum pidan materiil.
Terdapat 5 unsur
a) Kelakuan dan akibat
b) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai
perbuatan
c) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d) Unsur yang melawan hukum objektif
e) Unsur melawan hukum yang subjektif
b. Elemen Barangsiapa
Maksudnya adalah siapa saja sebagai subjek hukum, sebagai
pendukung hak dan kewajiban dan kepadanya tidak diberlakukan pengecualian hukum
seperti yang ditentukan oleh pasal 44, 48, 49, dan 50 KUHP.
c. Elemen Kesengajaan atau Kealpaan
Menurut teori Hukum pidana ada tiga bentuk kesengajaan
yaitu:
a) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als
oogmerk)
Merupakan suatu tindakan untuk melakukan atau untuk tidak
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, dimana perbuatan itu di
ingini atau diketahui oleh pelaku perbuatan
b) Kesengajaan sebagai keharusan (opset bij
noodzakelijk heids)
Merupakan suatu tindakan untuk melakukan/tidak melakukan
sesuatu perbuatan yang bertntangan dengan hukum, dimana pelakunya mengisyafi
bahwa akibat perbuatan tersebut merupakan suatu kepastian atau keharusan.
d. Elemen tidak adanya unsur pemaaf
Berkaitan dengan jika suatu keadaan dimana
pelaku berada dalam suatu tekanan. Jika pelaku berada dalam tekanan majikan
maka dia sebagai operator dapat di bebaskan dari tuntutan hukuman dan bahkan
pertanggungjawaban pidananya dapat dikenakan terhadap majikannya.